NATA
Ngariksa, Atur, Tumuwuh, Ajeg
NATA adalah kerangka strategis pengelolaan warisan budaya berbasis komunitas yang berfokus pada upaya menjaga (Ngariksa) warisan budaya dengan penuh tanggung jawab, mengatur (Atur) atau mengorganisasikan dan menyiapkan peta tata kelola yang sistematis, menumbuhkan (Tumuwuh) kesadaran dan kapasitas komunitas secara berkelanjutan, sehingga tercipta kondisi yang kokoh atau Ajeg — stabil, lestari, dan terus berkembang sebagai fondasi identitas budaya yang kuat dan mandiri.
Laboratorium Budaya: Desa Jembarwangi


Niskala tidak datang membawa rumusan, melainkan membuka ruang—sebuah ruang perjumpaan antara ingatan lokal, praktik budaya, dan strategi masa depan yang tumbuh dari bawah. Di Jembarwangi, Niskala bekerja bersama komunitas untuk membangun sebuah ekosistem budaya yang berakar dan berdaulat, dengan prinsip NATA sebagai landasan praksisnya. Pendekatan ini sejalan dengan semangat Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang menempatkan masyarakat sebagai subjek utama pemajuan kebudayaan, serta mendorong penciptaan ekosistem budaya yang hidup, inklusif, dan berkelanjutan.
Melalui Ngariksa, Niskala mendorong dokumentasi dan penghidupan ulang warisan budaya yang nyaris terhapus; bukan untuk diawetkan dalam kaca, tapi untuk dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Pendekatan ini sejalan dengan semangat living heritage yang kini juga tercermin dalam kebijakan nasional—khususnya dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya—yang mengakui pentingnya pelibatan aktif komunitas dalam pelestarian, tidak hanya pada artefak, tapi juga pada nilai, makna, dan praktik budaya yang menyertainya.
Dengan Atur, kami membangun dan mengorganisasikan model tata kelola warisan yang tidak top-down, melainkan dikonsolidasikan bersama masyarakat, lembaga desa, dan jejaring budaya lokal. Ini merupakan bentuk praksis dari Pasal 26 dan 81 dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menegaskan bahwa desa berhak mengelola sumber daya, termasuk warisan budayanya, berdasarkan kearifan lokal. Pendekatan ini juga selaras dengan Pasal 24 dan 26 UU Cagar Budaya, yang menekankan pentingnya pelestarian berbasis komunitas dan kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah daerah.
Dalam semangat Tumuwuh, seluruh proses ini bergerak dinamis: membuka ruang belajar, pertukaran pengetahuan, dan pemanfaatan teknologi untuk memperkuat kapasitas komunitas. Ini mendukung arah kebijakan dalam Strategi Kebudayaan Nasional yang tertuang dalam Permendikbud No. 10 Tahun 2018, yang mendorong penguatan kapasitas komunitas budaya, serta pemanfaatan teknologi untuk pemajuan kebudayaan secara berkeadilan dan partisipatif.
Dan akhirnya, melalui Ajeg, Niskala menanamkan visi jangka panjang: bahwa desa bisa mandiri menjaga warisannya, menghidupinya, dan menggunakannya sebagai sumber daya untuk masa depan yang adil secara budaya dan berkelanjutan secara ekologis. Pandangan ini memperkuat prinsip dalam Pasal 5 dan 6 UU Pemajuan Kebudayaan, yang menempatkan keberlanjutan dan keberagaman budaya sebagai fondasi pembangunan nasional.
Apa yang dilakukan Niskala di Jembarwangi bukan sekadar program pelestarian, tetapi juga bentuk perlawanan halus terhadap cara lama dalam memandang desa: bukan sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai pusat produksi pengetahuan dan penjaga warisan hidup. Perspektif ini mengusung semangat desentralisasi epistemik, yang juga merupakan roh dari berbagai kebijakan kebudayaan di Indonesia: bahwa pengetahuan lokal, yang selama ini terpinggirkan, layak ditempatkan di pusat sebagai sumber inspirasi dan inovasi sosial.
Seluruh proses ini akan didokumentasikan dan disusun dalam laporan terstruktur—tidak hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban, tetapi juga sebagai kontribusi terhadap gerakan pelestarian yang lebih adil, terbuka, dan dapat direplikasi oleh siapa pun, sesuai dengan semangat pelibatan masyarakat luas sebagaimana ditegaskan dalam UU Cagar Budaya dan berbagai kebijakan turunan yang menjunjung tinggi keberagaman dan otonomi budaya lokal.
Apa itu Ekomuseum Lembah Cisaar?
Ekomuseum Lembah Cisaar bukanlah museum dalam pengertian konvensional. Ia tidak dibangun untuk memamerkan masa lalu yang dibekukan, melainkan untuk menghidupkan kembali pengetahuan yang terkandung dalam ruang, praktik, dan ingatan kolektif masyarakat Desa Jembarwangi. Di sinilah kita menemukan satu jawaban atas kegelisahan kontemporer tentang pelestarian: bagaimana merawat warisan tanpa memisahkannya dari kehidupan?
Bagi Niskala, Desa Jembarwangi bukan sekadar tempat, tapi sebuah laboratorium hidup yang menghidupkan paradigma desentralisasi epistemik — pendekatan yang menolak dominasi satu cara pandang tunggal dan memberi ruang bagi pengetahuan yang tumbuh dari bawah. Pengetahuan lokal, yang selama ini sering terpinggirkan oleh narasi besar, kini ditempatkan sebagai pusat perhatian. Bukan sekadar warisan masa lalu yang dipuja secara romantis, melainkan sebagai sumber daya yang nyata: penuh kekuatan untuk berkarya, berinovasi, dan membawa perubahan.
Alih-alih menjadikan masyarakat sebagai obyek konservasi, pendekatan ekomuseum ini memosisikan komunitas sebagai arsitek kebudayaan itu sendiri. Dari ritual Mapag Sri hingga pola tanam berkelanjutan, dari pengelolaan air secara kolektif hingga sistem pengetahuan agrikultur yang diwariskan lintas generasi—semuanya membentuk jaringan pengetahuan yang tidak bisa diwakilkan oleh dokumen, tetapi hanya bisa dijalani.
Apa yang terjadi di Lembah Cisaar adalah sebuah perubahan arah: dari pelestarian yang biasanya berfokus pada institusi formal, menuju pelestarian yang tumbuh dari hubungan dan keterlibatan langsung antarwarga; dari narasi tunggal yang kaku, menuju keberagaman makna yang hidup dan berkembang bersama. Ini merupakan langkah penting untuk memindahkan pusat produksi pengetahuan—dari kota ke desa, dari pakar ke masyarakat, dan dari ruang akademik ke ruang kehidupan sehari-hari komunitas.
Melalui pendekatan ini, Desa Jembarwangi bukan hanya desa, tetapi menjadi pusat epistemik baru: tempat di mana warisan budaya tidak hanya dikenang, tetapi dihidupi, dipertanyakan, dikembangkan, dan diwariskan sebagai strategi keberlanjutan. Di sinilah ekomuseum berfungsi bukan hanya sebagai alat pelestarian, tetapi sebagai instrumen keadilan budaya—menghubungkan masa lalu dan masa depan dalam kehadiran yang kritis dan kolektif.
Kajian Kami


Peta Warisan Budaya
Dari data ke media informasi
Mapag Sri
Warisan Budaya Takbenda Jembarwangi
Kajian Nilai Signifikansi
Dokumen Pengkajian Partisipatif