Pendokumentasian Tradisi Mapag Sri
Secara turun-temurun, masyarakat Dusun Cirendang melaksanakan Hajat Ka Pasir sejalan dengan proses pertanian menanam padi sampai panen. Pelaksanaan rangkaian hajat berkaitan dengan doa, harapan, dan rasa syukur terhadap kelancaran dan pertumbuhan padi sampai masa panen. Rangkaian Hajat Ka Pasir di Dusun Cirendang, Desa Jembarwangi dilakukan melalui empat rangkaian hajat. Puncaknya, Hajat Ka Pasir III biasa disebut dengan tradisi Mapag Sri yang dilakukan saat padi mulai merekah (berisi).
Hajat Ka Pasir: Babarit
Rangkaian Hajat Ka Pasir yang dilakukan di Dusun Cirendang, Desa Jembarwangi dimulai saat datang musim hujan. Artinya, Hajat Ka Pasir I akan dilangsungkan sebelum masyarakat mulai menggarap lahan dengan tujuan menghimpun doa dan harapan agar proses membuka lahan sawah berjalan lancar. Di samping itu, hajat merupakan bentuk komunikasi dan meminta izin antara masyarakat saat ini dan (penghormatan) terhadap leluhur.




Hajat Ka Pasir Ke dua
Setelah itu, saat masa tandur berakhir menandai akan dilangsungkan Hajat Ka Pasir II dengan tujuan menitipkan benih padi agar tumbuh dengan baik dan lancar sampai merekah (berisi). Baik Hajat Ka Pasir Pertama atau pun yang ke dua dilaksanakan di Pasir Panghajatan, dekat dengan Makam Eyang Buyut Kamijah. Prosesi ini dilakukan oleh masyarakat Cirendang.
HÉLARAN: MAPAG SRI
Hajat Ka Pasir III biasa disebut dengan Mapag Sri (selanjutnya penamaan Hajat Ka Pasir III disebut Mapag Sri) merupakan puncak dari rangkaian Hajat Ka Pasir yang dilakukan oleh warga Dusun Cirendang dalam masa menggarap lahan, khususnya padi. Selain itu, dikenal juga istilah babarit atau “babaran di waktu kerit” (paceklik). Di wilayah Karédok, Mapag Sri disebut ngarot dan memiliki hitungan yang ketat karena tidak boleh menanam tanaman lain selain padi, termasuk kacang tanah dan melon, juga tidak boleh menggelar pertunjukan wayang. Di Cibengkung, yang merupakan bagian dari Desa Jembarwangi disebut Buku Taun. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pelaksanaan Mapag Sri di Dusun Cirendang dengan wilayah lain, yaitu dilaksanakan saat padi mulai merekah. Dengan demikian, Mapag Sri dilakukan sebelum masa panen raya warga Dusun Cirendang. Secara khusus, Mapag Sri dilaksanakan pada hari Senin, 03 Februari 2025 berpusat di Aula Balai Dusun Cirendang, Desa Jembarwangi.
Penentuan waktu Mapag Sri dilakukan terhitung sejak ada informasi padi dari warga yang sudah merekah (masyarakat menyebutnya dengan istilah beukah). Setelah itu, kemudian direspons dengan musyawarah Dusun yang melibatkan warga Dusun Cirendang, tokoh masyarakat, dan perwakilan dari Desa. Pada pertemuan tersebut diawali dengan upaya memastikan informasi padi yang sudah merekah, kemudian dibentuk panitia pelaksanaan ritus Mapag Sri.
Musyawarah Dusun yang dilakukan berusaha menegaskan bahwa tanda padi sudah mulai berisi sudah terlihat sehingga ritus Mapag Sri harus dipersiapkan karena merupakan bagian penting dalam perjalanan kehidupan dan menunjukkan keterikatan antara manusia dengan padi sebagai sumber kehidupan. Di samping itu, setiap musyawarah Dusun yang dilakukan berusaha menyelesaikan setiap masalah yang akan dihadapi saat ritus Mapag Sri. Oleh karena itu, setiap warga dapat memberikan masukan, termasuk untuk masalah keuangan yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan Mapag Sri.
Tujuan musyawarah Dusun adalah untuk menyepakati setiap rangkaian acara dalam Mapag Sri, juga untuk membahas acara ruwatan yang sudah menjadi bagian dari ritus. Maka dari itu, setiap susunan acara diputuskan dalam musyawarah Dusun untuk mencapai mufakat. Penekanan terhadap prosesi adat menjadi sorotan penting, bahwa terdapat hubungan yang terjalin antara manusia sekarang, leluhur masa lalu, dan Tuhan. Pada posisi ini, nilai sakral dalam ritus ditempatkan sebagai ritus yang penting untuk masyarakat Dusun Cirendang.
Musyawarah Dusun dilakukan secara berkala, setiap hari Sabtu malam di Balai Dusun Cirendang sampai menjelang pelaksanaan ritus Mapag Sri. Selama waktu musyawarah, setiap informasi yang berkaitan dengan perkembangan persiapan dijelaskan oleh panitia yang sudah dibentuk. Di samping itu, Bélot selalu menyampaikan pentingnya kedudukan ritus Mapag Sri yang tetap dipertahankan.


Hajat Pasir: Panutup
Rangkaian penutup hajat yang dilakukan oleh warga Dusun Cirendang seiring masa tanam sampai panen padi adalah Hajat Ka Pasir IV. Hajat penutup ini dilakukan setelah masa panen berakhir sehingga saat pelaksanaan hajat seluruh warga Dusun Cirendang dapat berjalan.






Mapag Sri, yang secara harfiah berarti “menjemput Dewi Sri”—sang dewi kesuburan dan padi—adalah ritual yang sudah dijalankan turun-temurun. Tapi jika kita melihat lebih dalam, ini bukan hanya soal panen atau pesta ladang. Ini adalah cara leluhur kita mengajarkan etika ekologis dalam bentuk budaya. Dalam ritual ini, manusia menghentikan sejenak kesibukan duniawinya untuk bersujud pada tanah—bukan menyembah, tetapi menghormati. Tanah yang ditanam. Air yang mengalir. Angin yang menumbuhkan. Matahari yang mematangkan. Semua elemen kehidupan dirayakan dalam sunyi yang penuh makna.
Apa yang bisa kita pelajari dari Mapag Sri?
Pertama, ia menanamkan rasa syukur yang kolektif. Dalam dunia yang hari ini serba instan, kita kerap lupa bahwa sebutir nasi adalah hasil dari rantai kerja panjang antara alam dan manusia. Mapag Sri mengingatkan bahwa makan adalah berkah, bukan rutinitas.
Kedua, ia menumbuhkan kesadaran akan keseimbangan dan keberlanjutan. Dalam setiap doa, terkandung ajaran untuk tidak rakus memanen tanpa merawat. Bahwa menanam bukan hanya soal menghasilkan, tetapi juga soal merawat hubungan spiritual dengan alam. Dalam Mapag Sri, tidak ada dominasi manusia atas alam—hanya harmoni yang dirawat dengan khidmat.
Ketiga, ia memperkuat jalinan sosial. Proses ritual ini tidak pernah individual. Ia dilakukan secara gotong royong, dari mempersiapkan perangkat ritual, menghias dusun, hingga membagikan hasil panen. Di sana, kita belajar bahwa budaya bukan hanya peninggalan, tapi ruang untuk membangun kebersamaan.
Dan akhirnya, Mapag Sri adalah cara masyarakat menuliskan sejarah tanpa tinta. Lewat nyanyian, gerak, dan simbol, mereka mengajarkan nilai yang tak bisa diajarkan di sekolah:
tentang penghormatan, ketekunan, dan cinta yang tidak diam-diam pada tanah tempat berpijak. Mapag Sri adalah refleksi: bahwa dalam sebutir padi, tersimpan jejak manusia, alam, dan ilahi.
Mapag Sri adalah proses yang menumbuhkan kita kembali menjadi manusia yang tahu terima kasih.
Rahayu!
Pentingnya Pendokumentasian Warisan Budaya
Pendokumentasian bukan sekadar mencatat masa lalu—ia adalah wujud nyata cinta dan tanggung jawab terhadap warisan budaya yang sarat makna. Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, dokumentasi berperan sebagai pelindung sekaligus jembatan yang menghubungkan generasi sekarang dengan akar dan nilai-nilai leluhur yang terus hidup.
Melalui foto, rekaman suara, peta, dan tulisan yang tersusun rapi, komunitas diberi ruang untuk mengenali, mengelola, dan mengembangkan warisan budaya mereka secara mandiri dan berkelanjutan. Pendokumentasian membuka peluang bagi generasi muda untuk memahami identitasnya dengan lebih dalam, membangkitkan rasa bangga, sekaligus mendorong partisipasi aktif dalam pelestarian kebudayaan.
Data dan narasi yang terkumpul juga menjadi landasan kuat untuk pengajuan Warisan Budaya Takbenda (WBTb), memperkuat pengakuan formal sekaligus memastikan keberlanjutan pelestarian secara sistematis. Dengan demikian, dokumentasi bukan hanya media penyimpanan, tetapi sumber daya strategis yang menguatkan komunitas sebagai subjek penggerak budaya mereka sendiri.
Setiap dokumen yang tercipta adalah nyala api kecil yang menjaga agar tradisi dan kearifan lokal tidak padam. Melalui pendokumentasian, kita bersama menulis masa depan budaya yang hidup dan berdaya—menjadi warisan yang tidak hanya dikenang, tetapi terus berkembang dan memberi makna. Ini adalah panggilan bagi kita semua: mari kita jaga, rawat, dan hidupkan kembali warisan budaya sebagai identitas yang ajeg, bermakna, dan membanggakan.