"Hana nguni hana mangke, Tan hana nguni tan hana mangke, Aya ma baheula hanteu tu ayeuna, Hanteu ma beheula hanteu tu ayeuna."
Ada dahulu ada sekarang, Bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang, Karena ada masa silam maka ada masa kini, Bila tiada masa silam tak akan ada masa kini.
Serat Amanat Galunggung
Dewan Pakar Niskala Institute
Dr. Lutfi Yondri. M. Hum
Dr. Etty Saringendianty, M. Hum
Dr. Miftahul Fallah, M.Hum








Dr. Ismet Belgawan H, M. Sc
Dr. Lutfi Yondri. M. Hum sekarang merupakan penelilti BRIN dengan fokus kajian dalam bidang Arkeologi dan Cagar Budaya. Beliau merupakan Ketua Dewan Pakar dari Niskala Institute.
Dr. Etty Saringendianty, M. Hum Penelliti dalam bidang kajian arkeologi, sejarah, kajian agama, dan Cagar Budaya
Dr. Ismet Belgawan H, M. Sc. adalah Dosen Arsitektur di SAPPK ITB, kajian beliau adalah Perumahan dan Pemukiman, Pemukiman Tradisional, dan Cagar Budaya
Dr. Miftahul Fallah, M.Hum merupakan Dosen di Prodi Sejarah UNPAD, memiliki fokus dan kajian pada Sejarah Sunda, Tata Kota Masyarakat Sunda, dan Cagar Budaya
Api Yang Takan Padam
Sudah saatnya kebudayaan diramaikan oleh generasi muda.
Kalimat diatas disampaikan Kang Pindi saat kami ingin meramaikan dunia riset kebudayaan Indonesia- berdiskusi dalam rangka membentuk lembaga riset kebudayaan Nusantara. Saat kami sampaikan bahwa nama lembaga tersebut adalah Niskala Institute, Kang Pindi setuju saja.
Kang Pindi mengarahkan kami untuk menemukan "ruang kosong" dalam penelitian. Tentunya kebudayaan adalah bidang yang dijejali "ruang kosong" yang menuntut kegigihan. Beliau menceritakan tentang tahapan awal dalam riset gambar cadas yang dimana Kang Pindi merupakan salah satu tokoh utama dalam kajian tersebut.
Beliau bercerita tentang minatnya kepada arkeologi yang pada akhirnya dapat ia salurkan walaupun berkuliah di seni rupa khususnya desain. Hal tersebut menjadi bukti nyata bahwa sekat-sekat keilmuan sudah tidak relevan. Kajiannya mengenai gambar cadas khususnya yang berkaitan dengan komunikasi visual menjadi hal berharga.
Seperti yang Kang Pindi pernah sampaikan, bahwa "nges kudu na kebudayaan teh dirempug ku nu ngora". Sekarang, dalam doa yang panjang, kami pun akan menyelipkan, " Siap, Kang, akan kami lasanakan!".
Hatur nuhun, Kang! Pileuleuyan! Pileuleuyan!
oleh Garbi


kawan “bertengkar” yang akan selalu dirindukan.
Rabu, 16 April 2025, menjelang pukul 09.00 WIB, di salah satu wag datang kabar duka seorang kawan, Moch. Riou Badar Tubanie, S.T., M.T. telah lebih dahulu meninggalkan kita semua.
Pertemuan terakhir saya dengan Céng Iyo (biasa ia disapa oleh para sahabatnya) pada 25 Februari 2025, pukul 08.37 WIB di Indomaret Cileunyi. Pertemuan singkat, selama 30 menit diisi seolah review pertemanan selama 25 tahun. Saya tahu, saat itu ia masih dalam kondisi pemulihan kesehatan pascaoperasi dan mengalami drop mental. Sengaja, saya ajak ia untuk membangkitkan ingatan, mengenang kembali keterpukauannya kepada sosok Hegel saat masih studi arsitektur tahun 2000-an. Kiranya, itu dapat menyulut kembali gairah hidup dan membangkitkan sisi kritis intelektualnya. Itu berhasil, ia bangkit dan meminta pendapat terkait studi doktoralnya – yang lama ia pendam bersama berat badan yang mulai mengikis –tanpa ragu, saya menyarankan studi ilmu filsafat yang cocok untuk dipilih.
Persahabatan antara saya dan Céng Iyo seolah melanggengkan persahabatan kakek kami. Kiranya, hubungan persahabatan yang tidak sebatas pada forum mahasiswa, tetapi menjangkau sisi ”brutal” masing-masing. Ya, kami saling memposisikan sebagai ”musuh” dalam mengasah nalar ilmu pengetahuan dan sisi kritis intelektual. Hematnya, Céng Iyo faham betul arsitektur modern dengan empat pilarnya (Walter Gropius, Le Corbusier, Frank Lloyd Wright, dan Mies van der Rohe), sedangkan saya berjalan dalam pencarian esensi arsitektur vernakular. Begitu pun dalam ranah filsafat, kami benar-benar berada pada posisi yang berbeda: Céng Iyo tertarik pada positivisme, sedangkan saya seorang eksistensialis.


Pileuleuyan Céng Iyo
Terkait wacana kebudayaan, ia sejak lama mempelajari pertalian Sunda dengan Islam (ini tidak terlepas dari pengaruh alm. kakeknya, yaitu Mama Totoh Abdul Fatah), dan saya sedang menyelami kebudayaan Sunda di masa kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha.
Saat menempuh studi arsitektur, Céng Iyo memiliki mentor yang teknis dan strukturalis, berbeda dengan mentor saya yang konseptual dan antropologis. Tentu saja, dalam komunikasi, ia yang santun berhadapan dengan saya yang gemar membuat sakit hati. Kami bersepakat dalam batas bias antara persahabatan dan peran sebagai musuh. Semua perjalanan posisi dan peran, kami bersepakat untuk saling beroposisi dan selalu berpegang kepada konteks agree to disagree.
Menjelang 30 menit percakapan.
Percakapan kami melebar, tidak sebatas studi arsitektur. Meskipun kami cukup paradoks. Céng Iyo seperti atlet gulat, dan saya atlet panjang dinding. Medan kami berada di atas papan catur!
Selepas merampungkan studi arsitekturnya pada akhir 2006, ia mengajak saya untuk merintis konsultan perencanaan. Saya – yang saat itu masih di perantauan – menyarankan untuk menyimpan sementara cita-cita tersebut. Berselang tiga tahun, kami bersama tiga kawan lain (Tanto Subarjah, Tubagus Adhi, dan Galih Mulya Nugraha) merealisasikan mimpi itu.
Pada akhir 2019, di ambang ancamam Covid-19 secara global, saya dengan Céng Iyo bersama-sama menempuh ujian sertifikasi Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dan dinyatakan lulus pada 30 Januari 2020. Sahabat yang paradoks antara saya dan Céng Iyo menjangkau ruang TACB di Kabupaten Ciamis. Tak hanya itu, saya dan Céng Iyo bersama dengan Garbi Cipta Perdana, Mardiansyah Nugraha, Angga Pusaka Hidayat, Isep Bayu Arisandi, Anggi Agustian Junaedi, Halimy Fathan, dan Dani Sunjana sepakat mendirikan Niskala Institute pada Rabu, 27 Januari 2021, dengan dukungan dari Dr. Lutfi Yondri, M.Hum., Dr. Etty Saringendyanti, M.Hum, Dr. Ismet Belgawan, M.Sc., Dr. Pindi Setiawan, M.Sc. (alm.), dan Dr. Miftahul Falah, M.Hum. sebagai dewan pengarah. Niskala Institute yang berdiri pada awal 2021 berangkat dari cita-cita beberapa teman satu generasi saat menempuh studi arsitektur (yang salah satunya tentu Céng Iyo) pada pertengahan 2006, namun tidak sampai terwujud. Dari peristiwa tersebut, saya dan Céng Iyo mendapatkan pelajaran penting bahwa “gagasan besar tidak akan mampu ditempatkan pada ruang yang sempit”.
Jauh setelah percakapan 30 menit, 16 April 2025.
Tidak akan pernah cukup ruang untuk saya membicarakan sosok Céng Iyo, dan sedekat apa hubungan persahabatan saya serta kawan-kawan lain dengannya. Kita hanya mampu melihat Céng Iyo sebagai santri yang moderat, arsitek yang berbudaya, akademisi yang bersahabat, peneliti yang tekun. Namun, bagi saya secara pribadi, sebagai penghargaan tertinggi, Céng Iyo saya tempatkan sebagai “musuh abadi” dalam berdialektika, sekaligus saudara yang siap saling membela. Pileuleuyan Céng, haturnuhun telah memberi warna dan saling berbagi selama perjalanan kita.
Cag, Antapani, 16 April 2025, pukul 18.09 WIB,
Budimansyah.