Rumah Artefak Pak Wawan
Dusun Cibengkung, Desa Jembarwangi
Pak Wawan adalah salah satu orang pertama yang menemukan fosil dan artefak arkeologis di Desa Jembarwangi. Dia juga terlibat dalam proses ekskavasi fosil-fosil di desa tersebut. Sekarang, Pak Wawan menjadi anggota Satuan Tugas (Satgas) Kepurbakalaan Desa Jembarwangi yang bekerja sama dengan Museum Geologi Bandung.
Cerita bermula dari pekerjaan Pak Wawan sebagai pengusaha tambang batu di sepanjang Lembah Cisaar. Dalam mencari bahan tambang, ia menemukan banyak artefak menarik, seperti kapak perimbas, kapak beliung, barang-barang perunggu, pecahan fosil, dan berbagai koin dari tahun 1800 hingga 1950-an.
Menurut Pak Wawan, Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Sumedang telah mendata benda-benda yang diduga cagar budaya yang ada di tangannya, dan Museum Geologi juga sudah mengetahui keberadaan benda-benda tersebut.
Pendekatan Ekomuseum berfokus pada pelestarian benda-benda tersebut di tempat asalnya, yakni di Desa Jembarwangi, dan jika memungkinkan, tetap berada di rumah Pak Wawan.
Namun, kondisi benda-benda tersebut masih belum terawat dengan baik. Mereka disimpan seadanya, dan jika ada tamu yang datang, baru benda tersebut akan dikeluarkan dan diperlihatkan. Dengan cara seperti ini, tentu saja kondisi benda-benda tersebut bisa cepat rusak. Oleh karena itu, perlu ada solusi untuk menyediakan tempat atau display sederhana agar benda-benda tersebut bisa disimpan dengan lebih aman.



Menuju Rumah
Artefak Pak Wawan
Rumah Artefak Pak Wawan terletak di Dusun Cibengkung, Desa Jembarwangi. Patokan terdekatnya adalah Masjid Al Ikhlas Cibengkung—cukup mudah ditemukan kalau kamu sudah sampai area itu.
Untuk berkunjung atau meneliti koleksi artefak di sana, tidak dikenakan biaya tiket apa pun. Tapi kalau kamu berkenan, membawa sedikit oleh-oleh atau memberi tips seikhlasnya sangat membantu Pak Wawan—khususnya untuk rencana beliau membangun almari penyimpanan artefak yang lebih baik.
Sebelum datang, sebaiknya hubungi Pak Wawan beberapa hari sebelumnya agar kunjunganmu bisa dipersiapkan dengan baik.
Kalau kamu berangkat dari Museum Lembah Cisaar naik motor, waktu tempuhnya sekitar 10 menit. Tidak disarankan pakai mobil—akses jalannya sempit dan cukup menantang. Jalan kaki juga jangan, kejauhan! Alternatif lain bisa lewat jalan poros Jatigede—tinggal ikuti panduan aplikasi navigasi dengan tujuan Masjid Al Ikhlas, Dusun Cibengkung.
Tips: Bawa sarung tangan ya kalau ingin menyentuh langsung benda-benda purbakala. Selain lebih aman untuk artefaknya, juga lebih nyaman buat kamu.
Sikap Niskala!
Ketika warga menyimpan temuan arkeologis di rumah mereka, itu tidak semata-mata persoalan kepemilikan pribadi, melainkan ekspresi dari kehausan kolektif akan ruang pelestarian yang inklusif, bermakna, dan terhubung dengan kehidupan sehari-hari. Praktik ini mencerminkan kebutuhan akan model pelestarian yang melibatkan warga sebagai subjek sejarah, bukan sekadar penerima instruksi dari otoritas.
Sayangnya, dalam banyak kasus, pendekatan pelestarian cenderung mengutamakan logika representasi institusional—membangun museum sebagai ruang pamer beku, alih-alih sebagai ruang hidup yang tumbuh dari akar komunitas. Narasi pelestarian pun lebih sering disusun dari pusat, menjauhkan artefak dari ruang sosial yang memberi mereka makna awal.
Yayasan Buwana Niskala Nusantara mendorong pembacaan ulang atas logika konservasi budaya. Kami menolak pendekatan yang menjadikan warga hanya sebagai penonton sejarahnya sendiri, dan justru mengusulkan ekomuseum sebagai jalan tengah yang adil: sebuah ruang kultural yang tidak memindahkan warisan ke balik kaca yang jauh dari lokasi asal, tetapi merawatnya di tempat ia hidup, bernapas, dan memiliki ikatan sosial.
Kami menyadari pentingnya perlindungan hukum terhadap benda cagar budaya, dan pada saat yang sama meyakini bahwa pelestarian tak boleh semata-mata berbasis prosedur formal. Setiap temuan arkeologis yang berada di tangan warga perlu dikontekstualisasikan melalui dialog, bukan hanya didokumentasikan untuk diarsipkan; didekati dengan penghormatan terhadap narasi lokal, bukan sekadar diklasifikasikan sebagai data ilmiah.
Dalam semangat itu, ekomuseum bukan sekedar alternatif, tetapi koreksi atas praktik pelestarian yang menjauh dari rakyat. Ia membuka kemungkinan baru: pelestarian sebagai proses hidup yang memulihkan hubungan antara manusia, ruang, dan ingatan. Karena kami percaya, warisan budaya adalah soal kedaulatan makna—dan tugas kita bukan hanya menjaganya, tetapi menghidupinya bersama.

