Situs-situs Pra-Islam dan Carita Pantun Demung Kalagan di Desa Cikahuripan, Kabupaten Kuningan: Kajian Arkeologi Spasial

Kuningan merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki perjalanan historis yang panjang. Tinggalan-tinggalan alat batu berupa beliung persegi yang ditemukan di beberapa di Desa Ciherang, Cipari dan Cibuntu menandakan bahwa daerah Kuningan kemungkinan telah dihuni sejak masa neolitik atau sekitar periode dimulainya kegiatan bercocok tanam.

Noza

5/8/20242 min read

Kuningan merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki perjalanan historis yang panjang. Tinggalan-tinggalan alat batu berupa beliung persegi yang ditemukan di beberapa di Desa Ciherang, Cipari dan Cibuntu menandakan bahwa daerah Kuningan kemungkinan telah dihuni sejak masa neolitik atau sekitar periode dimulainya kegiatan bercocok tanam (sekitar 6000 tahun yang lalu). Tinggalan lain seperti alat bilah di Gua Ciniru sebenarnya mengindikasikan adanya kebudayaan yang lebih tua di Kuningan, namun karena kuantitas temuan yang terlalu sedikit pertanggalan tersebut masih dirasa belum meyakinkan (Subagus dkk., 1986).

Temuan yang lebih masif kemudian datang dari periode yang lebih muda, yakni periode kebudayaan megalitik. Fokus pada penelitian megalitik di Kuningan telah berlangsung sejak masa kolonial, utamanya dirintis oleh Th. van der Hoop. Laporan paling awal soal masifnya tinggalan kebudayaan megalitik di Kuningan bermula dari “Een steenkistgraf bij Tjirebon” yang ditulis van der Hoop tahun 1937. Menurut tulisan tersebut, van der Hoop telah menjumpai peti kubur batu yang bercampur dengan beliung batu di sekitar wilayah Sindanglaut di Cirebon dan sekitarnya (termasuk wilayah Kuningan). Penelitian ekstensif kemudian dilakukan van der Hoop ke wilayah Kuningan di periode 1935-1941, demi menguak tinggalan-tinggalan megalitik lanjutan dengan kuantitas yang lebih besar. Menurut laporannya dari tahun 1941 yang berjudul Catalogus der Prehistorische Verzameling, titik lokasi konsentrasi temuan megalitik kala itu mencakup Desa Cileuleuy, Lebakwangi, Jatipamor dan Cikondang.

Para peneliti pada perkembangannya kemudian menjumpai lagi beberapa situs megalitik dengan skala cakupan wilayah yang lebih luas. Situs-situs tersebut pada umumnya berupa formasi kepurbakalan megalitik yang terdiri dari punden berundak, menhir, dolmen, kubur batu, dan juga arca. Bentuk situs dengan format demikian dapat ditemukan di Cibuntu, Cipari, Panawarbeas, Rajadanu, Panyusupan, Cigadung, Cisantana dan lain sebagainya. Corak yang ditunjukan pada tinggalan megalitik pada beberapa kasus di Kuningan bahkan juga samar-samar menunjukan ciri kebudayaan Hindu-Buddha. Kasus tersebut misalnya dapat dijumpai pada Situs Hululingga, Desa Sagarahiang, Kecamatan Darma. Situs tersebut secara umum memiliki bentuk bentang lahan berupa struktur punden berundak, dengan ragam temuan didominasi oleh menhir dan dolmen yang tersebar di beberapa titik. Adapun situs-situs semacam ini umumnya berada pada ketinggian 400-1000 mdpl, sehingga kemudian disebut sebagai situs-situs perbukitan Gunung Ciremai (Aziz, 1996: 21-29).

Komposisi temuan arkeologi masa kebudayaan megalitik mirip dengan situs-situs perbukitan Gunung Ciremai kembali ditemukan pada tahun 2024, sebagaimana dilaporkan oleh Didin Misbahuddin dkk. (2024) dalam Tinjauan Awal Potensi Arkeologi di Desa Cikahuripan, Kecamatan Maleber, Kabupaten Kuningan. Menurut Misbahuddin dkk., di Desa Cikahuripan telah ditemukan setidaknya tiga situs megalitik, yakni Situs Puncak Lingga, Paranje Hayam dan juga Cikabuyutan. Di tiga situs itu ditemukan tinggalan-tinggalan bercorak kebudayaan megalitik dan juga Hindu-Buddha, seperti menhir, dolmen, monolit, batu pelor, dan juga lingga. Keunikan dari situs-situs megalitik di Desa Cikahuripan menurut laporan tersebut adalah bahwa masyarakat setempat masih mengkeramatkan situs-situs tersebut dan bahkan mengasosiasikannya dengan beberapa episode dari suatu carita pantun berjudul “Demung Kalagan”. Tanda akan keberlanjutan dari penyucian akan situs-situs ini dari masa ke masa adalah keberadaan tempayan Martaban dari abad ke-19 di Situs Paranje Hayam. Gejala lain yang menarik dari situs-situs ini adalah soal keletakannya yang berada pada kisaran di bawah 200 mdpl, sehingga cenderung lebih rendah posisinya daripada situs-situs megalitik perbukitan Ciremai yang lain.